Minggu, 29 Mei 2011

Sebuah Masjid di Perbatasan

Hari sudah mulai petang, tetapi sederetan materi kuliah tak juga usai. Sang dosen pun sepertinya sudah terlihat sangat kepayahan, sisa-sisa tenaga nampak dari desahan napas yang secara tak sengaja menerobos keluar dari sela-sela pembicaraannya. Yah, saat itu hari Jumat, sebenarnya masih pukul 17.00 dan kuliah yang dijadwalkan 1,5 jam baru berjalan dua pertiganya, tapi entah mengapa lentingan jarum jam berjalan begitu lama. Langit pun semakin terlihat duka saja dengan warna jingga kemerahannya. Aku memang berencana pulang saat itu juga, setelah pelajaran usai sesegera mungkin ingin kutinggalkan jogja untuk melabuhkan diriku di rumah, sejenak melepas kepenatan dengan keluarga. Saat yang ditunggu pun tiba, berbekal tekad pulang kutancapkan gas motorku menuju halte untuk oper bus Solo-Jogja, tak peduli malam yang menghadang. Lantas kusandarkan diriku di sebuah kursi yang menurutku memiliki posisi strategis dengan jendela di sampingku sehingga segala fenomena yang dilewati dapat kuamati dengan detail tanpa ketinggalan sedikit pun. Pelan-pelan tapi pasti roda bus berputar, yah maklum..namanya juga angkutan umum. Terlalu banyak fenomena dari petang hingga malam yang ada, terutama pada jam sibuk seperti itu, saat para pekerja, mahasiswa, para pedagang pulang bersamaan belum lagi para pelancong yang sekadar ingin menikmati keindahan kota. Hal ini semakin menambah ruwet di kota yang pada dasarnya memang sempit ini. Hingga suatu ketika bus mulai meninggalkan jogja. Sebagai pembuka yang baik, dapat dilihat candi prambanan di sisi kiri jalan, tetapi terlihat angkuh karena dia hanya mau memperlihatkan dirinya secara kecil dan tidak mau menampakkan dirinya secara utuh di dekat jalan, jarak memang membuatnya terlihat seolah-olah angkuh. Tidak sampai 50 meter dari candi prambanan di sebelah sisi kanan jalan, terdapat sebuah bangunan yang memang membuatku sangat takjub. Astagfitullah…masjid itu memang begitu mempesona. Arsitekturnya terlihat begitu sempurna. Entahlah, mungkin hal ini bagi sebagian orang terliha biasa seperti masjid-masjid pada umumnya. Akan tetapi, bagi anak perantauan seperti aku masjid ini sungguh indah. Bahkan tak terasa waktu magrib pun telah tiba, ingin kulangkahkan kakiku tuk menunaikan kewajiban di masjid itu, tapi apa daya…bis melaju terlalu kencang meskipun truk tronton saja masih dapat menyalipnya. Dari luar, pencahayaannya memang hanya remang-remang, tapi terlihat sungguh menawan. Keanggunannya telah membiusku, membuat euforia sejenak akan kenangan indah masa depan. Tampak jauh di dalam masjid seorang gadis berjilbab menerima pinangan seorang pemuda alim yang tak lain adalah temannya sendiri yang dalam perjalanan cintanya mereka berkonsekuensi untuk berhubungan dengan tidak meninggalkan syari’I Islam. Yah, mungkin ini sedikit harapan kecilku dan semoga tidak menjadi utopia belaka dengan membawa kenangan di sebuah masjid di perbatasan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar